Jodoh
Susah payah aku mempertaruhkan hidup demi dia. Aku menyerahkan semua untuknya, dari jiwa hingga raga. Sekarang, dia yang telah memuntahkan semua yang kuberikan tepat di depanku, menendangku dan hilang dalam kebahagiaannya bersama wanita lain. Luka menganga sudah berlalat di leverku. Aku nyaris mati dalam gelapnya hidup.
Hidup di Jakarta menyedihkan, aku mengalaminya. Hidup di sini sungguh tidak adil. Tak ada orang yang dapat dipercaya di sini. Dulu aku begitu buta pada cinta. Aku bertemu dengannya di pinggir rel kereta api daerah Cawang, bukannya aku tidak berhati-hati tapi dia sangat baik hati, aku diantar ke tempat tujuanku dengan cuma-cuma, rumah bulek ku waktu itu. Karena aku masih bersekolah di kelas 2 SMA sehingga belum memiliki ijazah. Dengan bermodal ijazah SMP aku datang ke Jakarta mencari pengalaman kerja untuk hidup lebih baik dan membawa secarik kertas alamat rumah bulek Marni di Jakarta. Aku berharap bulek mau membantu mencari pekerjaan, apa saja yang penting halal.
Bang Jalal berhasil membawaku ke depan rumah mewah itu, kata Bang Jalal aku harus berhati-hati hidup di Jakarta apalagi di pusat kota, tak ada yang dapat dipercaya, walaupun itu saudara sendiri, semua bertahan untuk bisa hidup dalam sulitnya kehidupan metropolitan, jika tidak lari, maka orang-orang di belakangmu akan menginjak-injakmu, begitu kata Bang Jalal, saat akhirnya ia meninggalkanku sendirian didepan rumah bulek, tidak lupa ia meminta nomer hp ku, katanya, siapa tahu kita bisa berteman.
Ternyata Bang Jalal benar, setelah aku masuk rumah itu ternyata saudara pun tidak bisa dipercaya, bulek Marni memberikan alamat yang salah kepada kedua orang tuaku. Rumah itu bukan rumahnya, itu milik orang keturunan dan merupakan juragan mebel. Apa kata pak'e dan buk'e kalau aku pulang nanti, bahkan aku tak tahu bagaimana caranya pulang ke Kebumen, sisa uangku tinggal 10 ribu saja. Aku nyaris menangis waktu itu, aku tak berani telepon rumah, nanti mereka khawatir dengan keadaanku. Lalu teringat sosok yang baru saja kutemui, dan satu-satunya orang yang aku kenal di Jakarta ini. Bang Jalal.
Setelah aku menelepon dia, Bang Jalal membantuku mencari uang untuk bertahan hidup dan agar bisa aku kumpulkan untuk pulang kampung. Namun, semua berubah setelah peristiwa itu terjadi, Bang Jalal yang berprofesi sebagai tukang parkir itu melamarku. Melamar gadis Kebumen yang berumur 16 tahun.
Aku tenggelam dalam rayuan cinta buta. Aku polos dan tidak tahu apa-apa tentang cinta, dari kecil hingga SMA, aku disekolahkan di pondok pesantren, hidupku hanya dengan teman-teman perempuan. Dan aku tidak pernah mengalami cinta pertama yang banyak orang bilang. Kecuali cinta monyetku pada Mas Fikri, kakak kelasku di SMP. Kami memiliki beberapa kenangan indah, tak banyak memang namun kenangan mengobrol bersama dipinggir sungai dekat sekolah adalah yang paling kuingat, tapi setelah lulus SMP dia pergi mengejar cita-citanya untuk melanjutkan sekolah di Yogyakarta dan aku kembali menjadi gadis yang kesepian.
Kedua kalinya aku jatuh cinta, aku malah mengalami hal itu dengan Bang Jalal, pemuda berusia 23 tahun yang berperawakan tinggi, kulitnya hitam namun tampan. Bang jalal resmi menikahiku bulan februari 2007. Kami menikah dibawah tangan, karena umurku belum memenuhi syarat untuk menikah. kami menikah di Jakarta, tanpa kehadiran orangtuaku tentu saja karena tak sanggup membayar ongkos yang terlampau mahal untuk datang sebagai wali di pernikahan anak bungsu mereka. Dilepas dengan isak tangis ibuku ditelepon, aku sah menjadi istri Bang Jalal. Tetapi Pak'e tidak merestui, ia terlanjur kecewa denganku.
Senang, susah, kami jalani bersama. Setiap pagi setelah bangun tidur didalam kontrakan kami yang sempit, Bang Jalal selalu membisikkan rayuan ditelingaku, katanya aku cantik dan lembut, aku istri dambaan setiap laki-laki, dan aku pelipur laranya ditengah hiruk pikuk kota besar ini. Tapi, 3 bulan belakangan ini, ia berubah, ia malas bekerja dan aku yang pengangguran tak dapat membantunya mengepulkan asap di dapur, hidup sudah sulit dan semakin sulit saja setiap harinya. Untung kami belum punya anak, mengingat keadaan kami yang serba kesulitan, aku tak sanggup membayangkan anakku nanti tak bisa makan dan bersekolah. Aku memang menolak punya anak dulu, aku juga masih belum siap mental mengurus anak, jadi aku menundanya. Dia setuju saja, tapi dia mengajukan syarat bahwa 1 tahun lagi aku harus sudah siap, dan aku setuju. Karena selama pernikahan, Bang Jalal tak pernah menyentuhku, dia tahu aku belum siap karena masih sangat muda. Aku bahagia, karena memiliki suami yang pengertian.
Belum genap 1 tahun pernikahan kami, Bang Jalal mulai terlihat aslinya, ia pemalas dan kerjanya makan dan tidur saja, padahal kontrakkan sudah nunggak selama 3 bulan, jika bulan depan tidak membayar, juragan kontrakan akan mengusir kami secara paksa. Aku tak berani meminta bantuan keluargaku, nanti malah merepotkan keluarga di Kebumen, sudah cukup aku membuat diriku susah, jangan keluargaku juga.
Akhirnya mau tidak mau aku harus keluar dari rumah dan mencari pekerjaan. Aku menjadi buruh cuci di rumah makan ternama di Jakarta pusat yang menerima pelamar dengan ijazah SMP, aku digaji setiap berhasil mencuci satu piringnya, hanya 300 rupiah, jika aku sanggup mencuci 200 piring aku bisa mendapatkan 60.000 rupiah. Itu cukup untuk hidup di Kebumen satu hari, tapi di Jakarta aku masih megap-megap, sesak napas karena kebutuhan. Terlebih lagi Bang Jalal sering meminta uang untuk pergi, katanya buat ongkos mencari kerja, tapi, pulang-pulang malah mabuk dan tak karuan. Aku mulai tertekan.
Malam Kedua Pernikahan
Malam kedua setelah pernikahan kami yang genap berusia 1 tahun, aku meminta cerai. Bang Jalal selingkuh dengan tetangga baru yang mengontrak didepan rumah. Aku tahu itu, walaupun aku bekerja siang sampai malam sehingga jarang berada dirumah, tapi, para tetangga menjadi informan penting yang memberitahuku tentang segala sesuatunya, mengenai perilaku tak wajar suamiku dengan wanita simpanannya.
Bang Jalal pergi dari kontrakan dengan wanita yang berprofesi sebagai pegawai klub malam itu. Tubuh wanita itu lebih molek dariku, tetapi tidak dengan wajahnya, bahkan sama sekali tidak cantik, hanya dandanannya saja yang tebal dan mencolok membuat dia jadi primadona dikontrakkan yang memiliki 30 petak kamar yang kecil-kecil ini.
Sebelum Bang Jalal pergi, dia mengucapkan talak padaku 3 kali. Baginya hal itu dapat diucapkan dengan mudah, tanpa beban. Aku ingat saat terakhir kali ia berdiri di depanku, Ia meneriakiku sebagai perempuan tak tahu diri dan perempuan yang sok suci, katanya aku membosankan. Aku tidak marah, aku justru bersyukur karena telah lepas darinya, jika lebih lama lagi aku hidup dengannya, pikiranku bisa kacau dan frustasi.
Sudah 1 bulan setelah perceraian itu statusku jadi “janda kembang”. Aku mulai hidup mandiri, tapi hatiku terluka dan luka ini masih terlalu dalam, bagaimanapun juga Bang Jalal adalah mantan suamiku dan aku masih belum bisa melupakannya.
Aku memutuskan tidak pindah, sulit sekali mencari kontrakkan murah di Jakarta, tak ada pilihan lain, aku harus bertahan, bahkan tanpa Bang Jalal. Para tetangga menyarankan agar aku tidak berlama-lama menjadi janda.
“Kamu kan ayu banget nduk masih muda banget lagi… mbok segera menikah, aku takut suamiku malah kepincut sama janda kayak kamu” ungkap mbak Lira yang mengontrak disebelah kamarku.
“Tenang mbak… saya belum mau menikah dulu,, masih trauma sama pria, lagipula gendis gak akan berani macam-macam, apalagi menggoda suami mbak…” hatiku melesak lebih dalam, lukaku belum sembuh dan aku harus cepat-cepat memperbaikinya.
“Menikah itu menghindari fitnah lho nduk.. ya sudah terserah kamu, yang penting jilbabmu itu tetap disitu, jangan dikemana-kemanakan, tetap tertutup”
“iya mbak”
Malam harinya aku terisak, sambil mengolesi kulit jari tanganku yang “mengeras” dengan salep yang aku beli tadi di warung. Pekerjaan mencuci piring selama beberapa bulan ini membuat tanganku kering dan kulitnya mengeras. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, aku hanya ingin bertahan hidup agar bisa mengumpulkan uang dan pulang ke Kebumen, hanya itu, aku tak akan muluk-muluk.
Aku sangat merindukan kedua orangtuaku dan kakak-kakakku. Sebenarnya sejak awal, mereka tidak membiarkanku pergi ke kota, mereka maunya aku menikah dengan pilihan pak'e dan mengajar di TPA dekat rumah. Tapi aku bersikeras karena mimpiku adalah hidup sukses di Jakarta, lagipula aku bisa meminta bantuan saudara karena ada bulek Marni di Jakarta. Pikiranku melayang dihari itu.
“Nduk…kamu kan kembang desa, cantik, banyak yang suka sama kamu. Kurang apa lagi to nduk? pak'e nikahkan sama anak pak lurah ya? si Dodi, dia sarjana guru itu lho nduk, punya kerja, dia juga sudah melamarmu kemarin. Tinggal nunggu lulus SMA saja lho nduk..Piye?”
Kata-kata pak'e masih terngiang ditelingaku, semakin malam dan tangisku semakin menjadi. Aku menjawab pertanyaan pak'e dengan gelengan dan aku menolaknya mentah-mentah. Aku menyesal, jika aku mengikuti kata pak'e aku sudah menikah sekarang dan setiap hari bisa bertemu dengan kedua orangtuaku. Saat itu, aku tidak berpikir panjang, aku masih mencintai Mas Fikri, kakak kelasku waktu itu. Dia cinta monyetku yang telah lama hilang, dan aku masih bermimpi dia akan kembali dan menikah denganku. Hatiku teriris-iris pilu yang membiru. Aku tenggelam dalam penyesalan yang terdalam. Air mata membanjiri kalimat istigfar yang aku ucapkan sepanjang malam ini. Aku sangat menyesal.
Restoran yang Disegel
Esoknya, aku harus memulai lembaran baru, menutup semua. Terlebih lagi cintaku pada Bang Jalal. Dan waktu berjalan dengan lambat dengan segala kenangan buruk yang menghantui, aku masih sering bermimpi buruk setiap malam. Selalu bangun pagi dengan peluh membasahi tubuh.
Pagi ini, dengan tubuh lemas aku pergi bekerja, walaupun begitu, aku merasa bersemangat, tidak seperti biasanya. Aku naik angkutan kecil berwarna merah dan jalan sepanjang 1 km setelahnya, maklum saja restoran tempat aku bekerja terletak di kawasan elit dan angkutan umum sukar masuk kesana. Sandal warna hijau pupus yang aku kenakan benar-benar sudah pupus, bagian alasnya sudah tipis dan membuat kakiku nyeri.
Aku disambut oleh pintu belakang restoran yang tertutup rapat. Benar-benar rapat bahkan terkunci. Aku menggedor-gedor pintu tapi tetap tidak ada yang membukanya.
“Anik! Anik! Pak Rohim! Pak…..”
Aduh, aku panik, aku takut jika restoran ini disegel bank karena hutang pemiliknya yang menggelembung. Sudah beberapa minggu ini hal itu menjadi bahan obrolan karyawan di dapur. Aku mulai berlari ke bagian depan resto.
Ya! aku benar.
Polisi selesai menyegel resto ini. Beberapa karyawan terisak di depan pintu yang disegel, dan beberapa lagi protes menuntut tanggung jawab si pemilik. Tiba-tiba Anik, sahabat karibku berlari dan memelukku, airmatanya mengalir membasahi jilbab hitamku.
“Gendis….gimana nasib kita gendis?aku takut…aku takut tak bisa hidup…”
Jantungku melompat, aku tak bisa menenangkan sahabatku ini jika aku sendiri mengalami hal yang sama.
“Tidak apa-apa Anik, kita harus sabar…” aku mencoba tegar, walau air mataku jatuh berserakan.
Kami adalah kaum lemah yang tak dapat melakukan apapun kini, begitu sulitnya mendapat pekerjaan yang layak di Jakarta, bahkan hanya sekedar mencuci piring di tempat orang pun kini sudah tak bisa. Aku beristigfar dengan terus memeluk temanku yang sekarang menangis sejadi-jadinya.
“Gimana anakku nanti….aku gak bisa cari uang lagi…dia bisa tidak sekolah..”
Wajahnya memerah, matanya mulai terlihat bengkak karena terus menerus menangis. Walaupun kami sama-sama berstatus janda, tapi dia janda beranak satu. Anak perempuannya baru berumur 5 tahun, beban hidupnya jelas lebih berat daripada aku yang tinggal seorang diri.
“Tenang Anik..kita berdoa saja…”
Doa kami tak ada gunanya, bagaimanapun resto tetap ditutup dan kami pengangguran, pupus sudah harapanku pulang ke Kebumen dengan pakaian layak dan oleh-oleh ditangan.
Di pagi hari menjelang siang itu, aku dan Anik menjadi salah satu karyawan yang terduduk didepan resto yang disegel, perutku keroncongan karena belum makan, uang gaji kemarin sudah habis untuk membayar tunggakan listrik. Aku pikir aku akan benar-benar mengandalkan gaji hari ini, tapi Tuhan berkata lain. Dan aku harus menerimanya.
Tiba-tiba didepan kami terparkir mobil polisi lagi, berderet-deret. Aku segera memasang mata melihat satu persatu orang yang keluar dari mobil, Anik masih terisak dipangkuanku. Mereka berperawakan tinggi, beberapa berperut buncit dengan seragam seketat karet, tapi sebagian lagi adalah polisi muda, dengan seragam polisi yang mereka kenakan, mereka terlihat gagah. Tiba-tiba salah seorang dari mereka menghampiriku dan melihatku terus. Karena hal itu, perhatianku beralih padanya, dari jarak 2 meter, aku mengamati polisi yang sedang berdiri itu, tubuh polisi ini tinggi, kulitnya putih, wajahnya tampan dan sangat familiar.
Dia tersenyum dan berjalan perlahan ke arahku, Anik menyadarinya dan ia segera melihat polisi itu juga. Aku yang masih dalam posisi duduk di samping Anik, sedangkan polisi tampan itu jongkok di depanku dalam jarak setengah meter dan tersenyum.
“Dek Gendis?” tanyanya dengan suara berat. Matanya menyorotkan keterkejutan.
Aku diam. Masih terus mencari wajahnya dalam memoriku, aku sama sekali tidak ingat. Memoriku sudah tertutup serpihan-serpihan kenangan buruk bersama Bang Jalal. Aku benar-benar lupa, tapi polisi ini mengenalku, ia bahkan tahu namaku.
“aku kakak kelasmu, Fikri, kau ingat?”
Jantungku melompat. Dia cinta monyetku waktu SMP, tak kusangka kami bertemu lagi di sini, ditempat ini, dengan wajah kusut dan jilbab berantakan aku tersenyum padanya.
Setelah pertemuan itu, Fikri jadi sering mengunjungi kontrakan sempitku. Keadaan itu berlangsung selama 2 pekan. Aku bercerita padanya banyak hal, keputusanku ke Jakarta, salah alamat, Bang Jalal dan perceraianku. Aku mengingat memori itu, mas Fikri adalah teman yang baik dan sopan, dia sekarang sukses dengan profesinya, walaupun masih menempuh pendidikan kepolisian, setiap ia mendengarkan kisah hidupku, ada raut kasihan di sana dalam wajahnya. Ia mengasihaniku.
“Kamu sudah menikah belum mas?” tanyaku sambil mengupas buah mangga yang ia bawakan tadi.
“Sudah”
Aku terkejut sekaligus merasa tak rela. Teman baik sekaligus cinta monyetku sudah menjadi milik orang lain. Tapi itu wajar, pria setampan dan semapan dia pastilah sudah berkeluarga. Aku mencoba mengerti.
“Tapi istriku meninggal tahun lalu karena sakit,dan sekarang aku duda”
Aku menarik napas.
“Maaf mas, aku gak tahu..kalau anak?”
Dia menunduk lalu menggelengkan kepalanya, "belum" lalu ia tersenyum “tapi rencananya dek…aku sudah mau menikah lagi”
“Oh, dia pasti wanita yang beruntung” jantungku memberontak. Kutekan dadaku agar merasa lebih baik. Entah mengapa, setelah mas Fikri bilang begitu, hatiku sakit sekali.. aku benar-benar cemburu.
“tentu saja, “kata mas Fikri lagi. Ia memandangku lama.
Pertalian Jodoh, Siapa yang Tahu
Beberapa orang-orang yang mengontrak, mondar-mandir di lorong, mereka melongok, ada yang segera masuk kamar karena takut, tentu saja begitu, ada beberapa yang bekerja di klub malam tak berijin. Terkadang juga beberapa ibu-ibu memprotesku karena setiap sore mereka melihat seseorang berpakaian polisi lengkap duduk di teras kost ku yang kecil dan suami mereka ketakutan karenanya. Karena kutanggapi biasa saja, munculah gosip yang aneh-aneh tentangku.
Mataku kembali pada mata mas Fikri yang masih memandangku, ia menatapku lekat. Seakan masih tak percaya bisa bertemu lagi denganku ditempat ini, begitu juga aku. Lalu ia melanjutkan kata-katanya, “dek, sebenarnya mas mau menikah dengan perempuan bernama gendis” kata-kata itu mendorong hatiku dengan pilu. Tatapan matanya menyayatku kembali ke masa lalu, kembali ke dalam masa-masa kelabu-ku dengan bang Jalal. Aku menahan tangis, aku tak sanggup berkata, sudah cukup dia mengasihaniku, aku tidak mau ia berkorban demi aku seorang janda miskin. Aku mencoba menarik napas dengan dalam. Mataku berkaca dan wajahku tertunduk sedih.
“Mas Fikri aku mohon jangan kasihani aku dengan begini, kau begitu baik padaku sedari dulu, dan aku tak sanggup membayangkan bagaimana dirimu jadinya bila menikah denganku, menikahi statusku yang . . .”
“Apa kamu tidak mempertimbangkan aku? Aku sama sepertimu gendis, bayangan pernikahan masa lalu yang masih begitu dekat terus menerus mengejarku, aku ingin itu berubah, berubah dengan memulai hidup baru”
Kami tersenyum bersama, argumen yang mas Fikri lontarkan menghancurkan hati tembok hatiku yang tertutup, sebuah status yang menjadi stigma di masyarakat kami tepiskan begitu saja di dalam kamar sempit ku ini. Aku takjub sekaligus haru, ternyata status yang melekat pada diriku dan mas Fikri tidak membuat kami terpuruk, justru kami akan berubah demi waktu dan masa depan. Sejarah kehidupan kami dimasa lalu terulang, dan sejarah kehidupan ku sendiri di masa lalu mulai layu.
Aku yang hanya seorang janda dari Bang Jalal mendapat kehormatan bersanding dengan Mas Fikri di pelaminan, aku menikah di Kebumen, kali ini dengan kedua orangtuaku yang mendampingi dan menggelar pesta sederhana. Aku tak mau lagi menengok kebelakang, aku yang terseret-seret nasib kaum urban akhirnya bisa bahagia dengan pernikahan suci.
Andai aku tidak bertemu Bang Jalal di pinggir rel kereta aku tak akan bekerja di Resto itu. Jika saja hari itu Resto tempat aku bekerja tidak disegel polisi, aku tak akan bertemu Mas Fikri di sana. Pertalian jodoh, siapa yang tahu. Hanya Tuhan-lah yang mengatur segalanya. Itu sekelumit luka dari bagian hatiku yang lalu, aku akan menyembuhkannya bersama kepergian Bang Jalal.