Guru Wajib Baca! Kisah Mengharukan Seorang Guru SM3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur

Guru Wajib Baca! Kisah Mengharukan Seorang Guru SM3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur - Hallo sahabat Sumber Bacaanku. Pada Artikel kali ini dengan judul "Guru Wajib Baca! Kisah Mengharukan Seorang Guru SM3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur". Silakan baca dan ambil informasi di dalamnya. Mudah-mudahan isi postingan Artikel Pendidikan, yang kami tulis ini dapat anda pahami dan bermanfaat.

Judul : Guru Wajib Baca! Kisah Mengharukan Seorang Guru SM3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur
link : Guru Wajib Baca! Kisah Mengharukan Seorang Guru SM3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur

Baca juga


Guru Wajib Baca! Kisah Mengharukan Seorang Guru SM3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur

Melanjutkan Perjuangan lbu

Oleh: Septi Sinarsih

Peta Nusa Tenggara Timur

BILA ada yang bertanya padaku, bagaimana aku melewatkan masa setahun di penempatan, berkawan dengan anak-anak di pedalaman, berbagi sedikit ilmu dengan mereka, merasakan 'nikmatnya' hidup di tanah rantau, itu semua karena ibuku. Ibu dan perjuangannya telah menguatkan langkah kaki dan semangatku untuk merampungkan masa pengabdian.

SMA S Kejora

Bersama ketiga kawanku, Azif, Pipit, dan Irsyad, aku menapakkan kaki di Riung, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Riung tak seudik dalam bayanganku. Semua fasilitas tersedia di sini mulai dari sinyal, listrik, air, dan fasilitas umum lainnya. Entah alasan apa yang membuat pemerintah masih melabeli Riung sebagai daerah tertinggal.

SMA S Kejora menjadi tempat pengabdianku. Kali pertama dikenalkan, rasanya kagok. Kudengar bahasa Indonesia mereka tak keruan. Secara susunan kata dan kalimat tidak sesuai dengan EYD. Saat ditanya tentang beberapa hal, aku hanya bisa menjawab seadanya. Setidaknya dengan senyum atau kata "iya". Bahkan saat berkenalan dengan siswa pun aku bingung, apa mereka mengerti bahasa Indonesiaku. Setiap aku ajak bicara, mereka sering tertawa. Padahal, menurutku ini tidak lucu. Unik memang, tapi seiring berjalannya waktu aku bisa beradaptasi dengan bahasa Indonesia-nya orang Flores.

Aku mengampu mata pelajaran Kimia. Praktikum menjadi kegiatan utama. Sayang, sekolahan ini belum memiliki bahan-bahan kimia dan peralatan praktikum yang lengkap. Kabar gembira pun datang setelah beberapa kali pertemuan. Entah mendadak atau karena aku belum tahu sebelumnya, sekolah mendapat bantuan peralatan praktikum.

Aku memanfaatkan fasilitas yang ada sembari mencari-cari alternatif percobaan yang bisa diaplikasikan di sekolah. Meski berada di daerah 3T, namun aku tetap bisa mengadakan praktikum. Keterbatasan tak menjadi penghalang untuk mengajak mereka berpraktik.

Internet menjadi andalanku untuk mencari ide percobaan yang akan kulakukan. Setelah menemukan beberapa contoh percobaan yang sesuai dengan materi aku langsung mencobanya di rumah. Bila berhasil, keesokan harinya akan kubawa ke sekolah dan kuminta para siswa mencobanya pula.

Percobaan yang aku lakukan pertama kali adalah faktor-faktor yang memengaruhi laju reaksi. Mereka sangat antusias mengikuti. Inilah yang membangkitkan semangatku untuk kembali bereksperimen pada materi berikutnya.

Kepuasanku di kelas, manakala melihat mereka melakukan percobaan dengan rasa penasaran. Artinya ada respon positif dari materi yang aku sampaikan.

Hingga datanglah kabar itu. Bak petir di siang bolong. Mengubah semangatku mendampingi anak-anak menjadi teriakan kencang, yang membuatku hilang harapan.

Kabar Duka dari Jawa

Jumat 14 Maret 2014. Aku tengah merangkai alat sederhana untuk percobaan kedua, uji larutan elektrolit. Saat itu, semangatku tengah berada di puncaknya. Beberapa kali memastikan tak ada yang terlewatkan. Semua sudah siap, percobaan di rumah, Sabtu besok aku tinggal mengajak para siswa praktikum.

Sore itu, ponsel ku berdering beberapa kali. Kuterima dan kabar buruk mengendap di telingaku. Sesaat, badan ku terasa disambar petir dan aku tak bisa melakukan penolakan apapun.

"Innalillahi wainalilahiroji’un, ibuku nggak ada," kalimat itu yang terucap seketika.

Aku menjerit sejadi-jadinya. Aku tak tahu harus berbuat apa. Di telepon, aku masih mendengar kerabat di Yogya mencemaskan keadaan ku. Barulah mereka menyampaikan ibu menutup mata sekitar pukul 12.00 WIB. Mungkin saat Matahari berada di angka dua belas.

Setelah menutup telepon, aku hanya duduk dengan pandangan kosong. Kawan-kawanku berkerumun, menenangkan diriku. Tapi tak ku hiraukan, tak acuh. Aku malah menyalahkan diriku sendiri. Tahu begini aku memilih untuk mengabdi di luar Jawa.

"Tidak usah memikirkan hal itu sekarang yang terpenting bagaimana kamu bisa pulang secepatnya," kata Azif.

Kebingungan itu juga yang melandaku sedari tadi. Apakah aku bisa pulang? Apa aku bisa menemui jenazah ibuku? Bagaimana aku bisa dapat tiket pesawat dalam waktu singkat?

Dua minggu lalu memang ada perasaan mengganjal dalam benakku, mungkin itu yang namanya firasat. Ibu mendatangiku dalam mimpi, ia mengenakan baju hitam yang mungkin sebenarnya adalah pertanda tentang kematiannya. Sepuluh hari sebelumnya, aku tak dapat kabar darinya. Aku dan ibu biasa berkomunikasi dengan pesan singkat atau telpon. Kali ini tidak. Keluargaku bilang, ibuku sedang mengikuti pendidikan dan latihan. Rupanya itu bohong. Sepuluh hari itu, ibuku terbaring di rumah sakit lantaran serangan jantung.

Keberadaan teman-teman membuatku tetap berpikir jernih. Tak hanya menguatkanku, mumbisikkan kata-kata penyemat agar aku bersabar. Mereka juga mengurus tiket travelku ke Ende. Begitu juga pak Sugeng. Ia adalah orang Jawa yang sama-sama bertugas di Riung, hanya saja berbeda tugas. Pak Sugeng punya banyak relasi yang membuatku bisa dengan mudah menggenggam tiket pesawat untuk segera pulang. Ia sudah kuanggap bapak sendiri di tanah rantau.

Tepat pukul 22.00 WITA aku menuju Bandara Hasan Aroeboesman Ende ditemani Waluyo, Mala, dan Anggi. Setiba di sana, bandara masih tutup dan tiga temanku ini masih stfia mendampingi sampai aku naik pesawat. Aku merasa sangat beruntung punya teman yang mau membantuku sampai sejauh ini. Perjalananku benar-benar diberi kemudahan, Alhamdulillah. Sesampai di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta sanak keluarga sudah menunggu untuk menjemput. Entah mengapa aku tidak bisa menangis. Aku hanya bisa tersenyum sembari menyapa mereka. Sesampai di rumah kulihat jenazah ibu sudah terbujur kaku. Segera aku bersiap-siap untuk mensalatkan jenazahnya. "lbu, ini bukti cintaku padamu. Aku hanya bisa mensalatkan sampai hari terakhir ini," kataku dalam hati.

Aku tak berani melihat wajahnya yang sudah terbungkus rapi meski untuk yang terakhir kali. Aku takut menangis dihadapnya, takut akan menulari keluargaku menangis lagi. Sendiri, aku menguatkan diri. Menguatkan bapak dan saudaraku lainnya. Saat upacara pemakaman, kupeluk erat bapak. Aku tahu dia tidak kuat berdiri dan aku menyemangatinya semampuku.

Karena Ibu Juga Seorang Guru

Beberapa hari kemudian, aku ingat dengan siswaku di Riung. Aku meninggalkan mereka dan mungkin saja mereka menantiku kembali. Aku berada di persimpangan. Apakah aku harus kembali dan meninggalkan keluargaku yang masih berduka atau tetap di rumah, meninggalkan anak didikku. Ujian hidup yang diberikan Allah benar-benar terasa berat. Antara keluarga dan pengabdian membuatku bimbang.

Di satu sisi, aku juga masih terikat kontrak dengan Dikti untuk menyelesaikan masa pengabdian di Riung. Saudara dan teman-temanku memberi semangat. Mereka kompak bilang, "Lanjutkan perjuangan ibu."

Kalimat itu membuatku kembali bangkit. Ya, aku harus bangkit, kembali, dan menjumpai anak-anak di Riung. Kembali berjuang bersama mereka. Kembali berjibaku, membagi ilmu pada tunas-tunas bangsa itu. Bapak yang semula tak tega melepasku, malah yang paling keras menyemangatiku.

"Ibuku memang luar biasa. Aku ingin melanjutkan perjuangannya, karena ia juga seorang guru."

Setelah dua minggu meninggalkan wajah-wajah lugu yang menghiasi Riung, aku kembali berjumpa dengan mereka. Wajah mereka nampak asing, mungkin karena beberapa hari aku tak melihatnya. Kembali aku menjadi canggung seperti pertama kali menginjakkan kaki di sekolah.

Lagi-lagi wajah muridku mengguratkan harapan yang harus kugenggam. Mereka juga membutuhkan keberadaanku. Praktikum yang dulu sempat tertunda kini kuuji cobakan. Senyum yang dulu pernah melintas di bibirku kini kembali bersemi. Ada rasa kebahagiaan tersendiri saat melihat mereka berhasil melakukan percobaan.

Bersama siswaku, aku tunaikan amanah sampai selesai di tempat pengabdian. Bersama mereka pula aku melanjutkan perjuangan ibu untuk mencerdaskan anak bangsa. Betapa indahnya skenario Allah selama pengabdianku di tanah Flores. (*)

Profil Penulis

Nama lengkapnya Septi Sinarsih. Dara yang baru pertama kali merantau jauh ini lahir di Sleman, 02 September 1990. Septi, biasa ia disapa. Berasal dari Desa Soman Selomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Lulusan Pendidikan Kimia UNY ini setahun mengabdi menjadi gru SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) di Kabupaten Ngada, NTT.


Demikianlah Artikel Guru Wajib Baca! Kisah Mengharukan Seorang Guru SM3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur

Sekian artikel tentang "Guru Wajib Baca! Kisah Mengharukan Seorang Guru SM3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur". Mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk Anda semua. Baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Guru Wajib Baca! Kisah Mengharukan Seorang Guru SM3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur dengan alamat link https://sumberbacaanku.blogspot.com/2016/09/kisah-mengharukan-seorang-guru-sm3t-di-pedalaman-nusa-tenggara-timur.html

Tambahkan Komentar
EmoticonEmoticon