Kisah Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Malinau Kalimantan Utara

Kisah Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Malinau Kalimantan Utara - Hallo sahabat Sumber Bacaanku. Pada Artikel kali ini dengan judul "Kisah Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Malinau Kalimantan Utara". Silakan baca dan ambil informasi di dalamnya. Mudah-mudahan isi postingan Artikel Pendidikan, yang kami tulis ini dapat anda pahami dan bermanfaat.

Judul : Kisah Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Malinau Kalimantan Utara
link : Kisah Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Malinau Kalimantan Utara

Baca juga


Kisah Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Malinau Kalimantan Utara

Lebih Memilih Gaharu daripada Ilmu

Oleh: Amin Fitriyah

Perjalananku menuju lokasi penempatan (SM3T)

 

Perjalananku menuju lokasi penempatan (SM3T)

Sejauh mata memandang hanya hijau nan rimbun. Semak belukar yang rapat dengan berbagai jenis vegetasi hutan hujan tropis yang beragam. Itulah yang tergambar saat menyusuri sungai di pedalaman Kalimantan. Kiri dan kanan tak luput dari pohon liana yang memanjat. Berbagai jenis fauna oriental kerap menampakkan diri, seperti babi hutan, kera, burung enggang, dan lainnya.

Letak sekolah kami berada di hulu Sungai Mentarang, tepatnya Desa Long Berang, kecamatan Mentarang Hulu, Kabupaten Malinau, Kalimanlan Utara. Berada di dataran yang lebih tnggi. Transportasi untuk menuju lokasi ini hanyalah menggunakan perahu kayu seperti Iongboat dan ketinting. Tak ada jalur darat, jadi jangan bayangkan motor, bus, apalagi mobil. Motor pun hanya ada satu atau dua yang dimiliki oleh petugas kecamatan.

Terbatasnya akses menyebabkan jumlah penduduk yang mendiami lokasi ini bisa dihitung. Kebanyakan yang tinggal adalah penduduk asli Suku Dayak Lundayeh. Daerah ini sangat terisolasi, yaitu di pedalaman hutan Kayan Mentarang. Jauh dari peradaban kota Kabupaten Malinau.

Perjalanan menuju Long Berang, harus kami tempuh sekitar enam jam. Selama perjalanan aku harus melewati dua giram yang besar yaitu giram Kayan dan giram Belalau. Giram adalah sejenis jeram batu-batuan yang sangat besar. Setiap melewati giram, perahu harus melawan derasnya arus sungai. Selain itu, goncangan dan gesekan batu-batuan besar yang menghalang. Jika kondisi debit air sungai kecil, maka perahu longboat dan ketinting harus ditarik. Sebagian penumpang harus turun dan berjalan melewati pinggir-pinggir sungai. Begitulah cerita perjalananku menuju lokasi penempatan Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T).

Listrik menyala itu pun kalau ada bensin

Semburat cahaya fajar, mengintip dari balik bukit berhutan. Aku menyukai suasana pagi seperti ini, damai berkabut dan sejuk. Sudah hampir tiga bulan aku bertahan. Mengemban tugas mulia, yaitu mengajar dan mendidik. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, aku bisa sampai di pedalaman Kalimantan Utara. Hidup di tengah-tengah suku Dayak Lundayeh yang memiliki adat dan kebiasaan yang identik.

Secara geografis, Desa Long Berang berada di pinggir Sungai Mentarang. Diapit oleh dua bukit hutan hujan tropis yang lebat. Keberadaan Desa Long Berang yang jauh dari Kota Malinau membuat minimnya berbagai fasilitas. Tak ada listrik sehingga masyarakat banyak yang mengusahakannya dengan genset. Sebelumnya ada PLTA namun sering terjadi kerusakan dan tidak pernah ada usaha perbaikan dari pemda.

Setiap hari kami hanya menikmati listrik dari pukul tujuh sampai sepuluh malam. Itu pun diperoleh saat memiliki stok bensin. Bila tidak ada persediaan minyak bensin, gelaplah sudah. Asal tahu saja, premium dijual lima belas ribu rupiah per liter, itu pun harus berebut dengan pembeli lain. Saat stok langka bisa sampai tujuh belas ribu rupiah per liter. Untung saja di Long Berang tak ada transportasi darat, jadi kemana-mana cukup jalan kaki dan tidak butuh bensin. Semisal kami ingin mencari pakis di hulu atau hilir sungai tetap harus menggunakan perahu ketinting milik siswa dan mengganti uang bensin.

Aku ingat, saat di Jawa, kami tak pernah dipusingkan dengan keberadaan listrik. Maklum, listrik mengalir dua puluh empat jam non-stop. Bahkan hampir tidak pernah ada pemadaman yang lebih dari dua jam. Ketika listrik mati biasanya ada peristiwa langka yang unik. Biasanya anak-anak kecil bisa membuat bayangan hewan-hewan di dinding dengan cahaya lilin, yaitu dengan membuat burung terbang, rusa, anjing, dan lainnya.

Jembatan kayu pengharapan yang putus

Tanpa bensin, aku bisa asyik berjalan kaki menelusuri Long Berang bersama siswa-siswaku. Jalan kaki pergi ke sekolah, ke rumah siswa, atau sekadar mengisi waktu luang dengan bertandang ke rumah warga. Kami melintasi jembatan sebagai satu-satunya jalan yang menghubungkan sekolah dengan kampung Long Berang. Namun keasyikan itu terpaksa  terputus bersamaan dengan putusnya jembatan. Sekali putus repotlah semua orang.

Putusnya jembatan kayu pengharapan ini membuat repot semua orang. Kami sebagai warga sekolah juga mengalami kesulitan ketika akan belanja menuju ke kampung, karena toko kelontong sebagai pemasok logistik di Long Berang hanya ada di kampung. Sehingga kami harus jalan naik bukit, hanya untuk sekadar belanja minyak tanah dan kebutuhan logistik yang mendesak.

Harapanku, jembatan ini akan segera diperbaiki menggunakan dana desa maupun kecamatan. Kalau menunggu gotong-royong dari warga sepertinya sulit karena tak ada yang menggerakkan. Padahal kayu ada di mana-mana dan bisa didapat dengan mudah.

Perjalanan ke sekolah menggunakan perahu

Sebenarnya di Malinau sudah ada perencanaan pembangunan jalan untuk jalur darat yang akan menghubungkan daerah-daerah Long pedalaman. Tahapannya sudah sampai pelaksanaan. Sayang, harus membabat hutan, memangkas bukit berhutan untuk dialihkan menjadi jalan. Jembatan yang sudah dibangun juga tak bertahan lama karena sering terjadi banjir dan longsor akibat hujan lebat. Alhasil jembatan terputus.

Saat ini, jembatan satu-satunya penghubung jalan sekolah dengan kampung Long Berang juga putus dan mengalami kerusakan, sehingga para siswaku kesulitan untuk ke sekolah. Sebelumnya, saat jembatan bisa dilalui pun banyak siswaku yang malas turun ke sekolah, terlebih dengan adanya jembatan putus. Beruntung masih ada beberapa anak yang rela menggunakan perahu ketinting untuk menyeberang. Biasanya pejalan kaki yang menghindari jembatan putus mencari alternatif lain dengan melewati bukit tinggi yang curam. Ah, semoga momen ini bisa memberi pelajaran kepada anak-anak di sini agar mau belajar dan bekerja keras.

Sebenarnya, jumlah muridku ada delapan anak. Namun tak semuanya datang. Kadang hanya empat sampai enam anak yang mau turun ke sekolah setiap harinya. Ini sungguhan. Setiap hari aku hanya mengajar murid kurang dari sepuluh orang, semacam les privat. Di daerah pedalaman, semangat belajar dan mengenyam pendidikan amat rendah. Mereka lebih memilih untuk masuk hutan dan mencari kayu gaharu, daripada belajar di bangku sekolah, memegang pensil dan membaca buku.

Kayu gaharu yang super mahal

Sebagian besar mata pencaharian penduduk di Desa Long Berang adalah pencari kayu gaharu. Hitungan perolehan kayu gaharu per kilogram. Satu kilogramnya bisa mencapai lima puluh juta rupiah untuk gaharu super. Selama penempatan, aku belum pernah melihat secara detil seperti apa bentuk dan isi kayu gaharu yang harganya luar biasa mahal itu. Jika masyarakat di sini ditanya apa manfaat kayu gaharu, mereka menjawab tidak tahu. Yang mereka tahu, jika banyak memperoleh kayu tersebut, mereka bernasib mujur karena pasti akan memperoleh penghasilan hingga puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah.

Proses pencarian kayu gaharu dilakukan dalam waktu satu bulan di hutan, bahkan hingga berbulan-bulan. Usaha pencarian juga tak termasuk mudah, karena harus membawa logistik bahan makanan seperti beras, bumbu-bumbu, dan alat masak secukupnya. Sang pencari gaharu harus membawa perbekalan yang cukup berat untuk bertahan hidup selama di hutan.

Orang Dayak Lundayeh sudah terbiasa hidup di hutan. Hewan buas di hutan sudah tak jadi masalah. Justru berbagai binatang tersebut, mereka buru untuk dimakan. Alat perburuan seperti tembak beserta pelurunya, parang/ mandau, tombak, pisau merupakan senjata vital yang harus selalu dibawa.

Pencarian kayu gaharu biasa dilakukan secara berkelompok dan rata-rata usia mereka dalam kategori pemuda. Ada juga usia remaja yang ikut mencari kayu gaharu di hutan dan tentunya, laki-laki. Mereka bilang, proses pencarian kayu gaharu dengan sebutan ngusa. Pencarian ini sangat berat dan melelahkan. Namun, itu tak jadi kendala berarti bagi si pencari. Jika nasib baik memayungi, dalam waktu pencarian kurang dari satu bulan, mereka bisa memperoleh kayu gaharu beberapa kilogram. Karena pencarian gaharu ini dilakukan secara berkelompok, mereka menggunakan sistem bagi hasil setelah menjualnya.

Sayangnya, setelah berhasil memperoleh hasil penjualan gaharu hingga ratusan juta, mereka suka hura-hura dan tidak bisa memanejemen hasil pendapatan dengan baik. Mereka akan berpesta minuman keras dam foya-foya. Mereka, para pencari gaharu yang tak mau bersekolah jarang berpikir jangka panjang, apalagi menabung. Itu sangat disayangkan.

Aku tak ingin kata menyesal ada di kamus mereka

Dua anak didikku ada di kelompok para pencari gaharu. Namanya Fenry dan Jekson. Mereka tak pernah berangkat sekolah. Pernah sekali kutemui wajah Fenry di sekolah. Setelah itu, tak pernah aku temui lagi batang hidungnya.

Aku ingin sekali menyampaikan, kayu gaharu yang mereka cari pasti akan habis dan punah. Tak demikian dengan ilmu yang dipelajari. Namun, apalah daya kalau mereka lebih memilih gaharu daripada ilmu. Sekali mereka pernah mendapatkan uang hingga puluhan bahkan ratusan juta, pasti mereka tidak mau melanjutkan belajar. Mungkin yang ada di benak mereka sekarang ini, apa gunanya sekolah, bila masuk hutan saja bisa menghasilkan uang.

Saat ini, tubuh mereka masih terlihat kuat. Namun, apakah selamanya akan kuat hingga senja menyapa? Di usia empat puluhan, kondisi fisik tubuh mulai menurun. Ini yang ingin aku tekankan, betapa pentingnya ilmu yang sejatinya harus dipelajari. Aku tak ingin kata menyesal ada di kamus mereka. Seperti yang Imam Syafii katakan: Jika kau tidak tahan akan lelahnya belajar, maka kau akan menanggung perihnya kebodohan sepanjang hidupmu. (*)
Profil Penulis
Nama lengkapnya Amin Ftriyah. Dara kelahiran Bantul, 2 mei 1990 ini biasa disapa Amin. Pernah menjadi Operator Call Center SNMPTN 2012-2013. Sarjana Pendidikan Geografi UNY ini berasal dari Panjang, Panjangrejo, Pundong, Bantul, Yogyakarta. Setahun Amin ditugaskan untuk mendidik dan mengajar di Long Berang, Malinau, Kalimantan Utara.


Demikianlah Artikel Kisah Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Malinau Kalimantan Utara

Sekian artikel tentang "Kisah Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Malinau Kalimantan Utara". Mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk Anda semua. Baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Kisah Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Malinau Kalimantan Utara dengan alamat link https://sumberbacaanku.blogspot.com/2016/09/kisah-seorang-sarjana-pendidik-di-pedalaman-malinau-kalimantan-utara.html

Tambahkan Komentar
EmoticonEmoticon