Kisah Pengabdian Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Flores Timur

Kisah Pengabdian Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Flores Timur - Hallo sahabat Sumber Bacaanku. Pada Artikel kali ini dengan judul "Kisah Pengabdian Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Flores Timur". Silakan baca dan ambil informasi di dalamnya. Mudah-mudahan isi postingan Artikel Pendidikan, yang kami tulis ini dapat anda pahami dan bermanfaat.

Judul : Kisah Pengabdian Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Flores Timur
link : Kisah Pengabdian Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Flores Timur

Baca juga


Kisah Pengabdian Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Flores Timur

Patriot Kecilku, Kiong

Oleh: Khoirun Nisa

Foto Bersama Anak-anak TPA Flores Timur

Kiong, Najwa dan Rinda

“Hihihi…”

Terdengar suara tawa kecil yang malu-malu. Terlihat kepala-kepala kecil tiga anak mengintip dari jendela didekat televisi. “ibu… assalamualaikumm…..” dengan khas suara anak-anak. Siapa lagi kalau bukan anak-anak TPA kami.

Aku bersama dua orang temanku, ditempatkan di desa Puhu, kecamatan Adonara Timur, Pulau Adonara kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapai daerah tersebut diperlukan waktu sampai 1 setengah jam dari dermaga penyebrangan Pulau Adonara. Desa yang sangat asri, damai, membuatku sadar bahwa anggapan ku selama ini tentang NTT yang gersang adalah salah. Tidak semua tempat seperti itu, terbukti saat subuh, ku hembuskan nafas dari mulutku maka akan keluar uap putih yang terlihat jelas, senang sekali pikirku seperti di film Winter Sonata, drama Korea yang pernah ku tonton, namun tidak untuk ujung kaki dan tanganku, brrrr… pucat dingin.

Mereka biasa datang bermain ke tempat kami, setelah shalat Ashar. “Yang lain kemana?” tanyaku ketika melihat mereka hanya bertiga, yaitu Kiong, Najwa dan Rinda. “main bu” menjawab sekenanya. “siapa yang adzan tadi?”tanyaku pura-pura tidak tau, karena aku kenal betul suara khas kiong saat adzan. 2 teman nya serentak menjawab sambil menunjuka kea rah yang disebut ”kiong bu”, sedangkan yang ditunjuk tersipu malu. Begitulah memang keadaannya disini. Orang dewasa bekerja di kebun sampai menjelang maghrib, sehingga saat dzuhur ataupun ashar tidak ada yang adzan. TPA saat peringatan tahun baru islam mengadakan lomba adzan, dan semenjak saat itu, anak-anak tidak malu lagi untuk adzan dengan suara yang keluar dari speaker dapat didengar oleh masyarakat sekampung, bahkan terkadang di waktu maghrib dan Isya mereka berebut untuk adzan .

“Ibu sedang apa”, tanya Najwa yang akrab di panggil Wawa, sang juara di kelas 4 SDN 1 atap Tapobali. “Sedang membuat bros”, jawab temanku. Kebetulan saat itu kami sedang mengisi waktu luang dengan memanfaatkan kain sisa jahitan mama (ibu asuh) untuk dibuat bros. Mama adalah penjahit terkenal, karena satu-satunya di desa kami. Masyarakat disini sering meminta mama untuk dibuatkan kebaya, sehingga kain siswa yang ada pun berwarna-warni. Takzim mereka melihat kami membuat pola, menggunting dan menjahitnya hingga menjadi bros. “bu saya mau coba”, Rinda yang saat itu duduk kelas 6 SD bersemangat ingin mencoba. Kiong juga tak kalah semangat, Najwa pun menanyakan untuk apa Kiong membuat bros. “untuk seseorang” jawabnya apa adanya datar.

Kiong yang Rajin Adzan di Mesjid

Bagiku Kiong adalah anak yang luar biasa. Dia anak yatim, ayahnya meninggal saat ia masih kecil. Ia adalah anak bungsu dari  9 bersaudara. Lahir dari anak yang kurang mampu, sehingga setelah ayahnya meninggal, ibunya tidak mampu merawatnya sehingga ia ditinggal oleh ibunya, dan tinggal bersama kakek neneknya. Hanya dia yang ditinggalkan, sedangkan kakak-kakaknya dibawa oleh ibunya. Entahlah apa yang dipikirkan oleh ibunya.

Kiong begitu rajin ke masjid dan belajar mengaji ba’da maghrib. Kebetulan aku yang memegang kelompok Quran besar, dan kiong adalah salah satu muridku. Muridku yang selalu ingin duduk disampingku atau tepat dihadapanku. Ia sangat senang apabila mendapat perhatian, dan selalu meminta agar ia sebagai giliran pertama dalam mengaji. Dia anak yang cukup cerewet untuk ukuran anak lelaki. Apabila dia sudah mengomel panjang, aku memanggil namanya dengan halus, maka ia dengan segera mencium tanganku dan menyengir meminta maaf.

Pernah aku bertanya padanya, saat duduk berdua di masjid sedangkan anak lainnya sedang bermain menunggu waktu adzan isya, “Kiong kangen tidak sama mama?” matanya langsung melihat-lihat kearah lain menunjukkan tidak ingin fokus memikirkan pertanyaan tersebut. Namun bola mata dan ekspresi wajahnya tak dapat ditutupi, ia sedih, kemudian terlihat anggukan kecil dari kepalanya. “Kapan terakhir ketemu sama mama?” ia mencoba mengingat-ingat namun tak juga keluar satu kata darinya. Aku ingin bertanya tentang ayahnya dulu orang seperti apa, kenangan apa yang paling diingat bersama ayah, namun aku tak tega melihat ia semakin bersedih jika ditanya tentang hal itu. Saat itu aku berpesan padanya untuk shalat 5 waktu dan belajar yang rajin, sering membaca Al-Quran dan selesai shalat doakan bapak serta ibu. “Doa untuk orang tua hafalkan?” aku bertanya sambil menatap matanya yang berkaca-kaca. Dia mengangguk kecil. Aku mengelus kepalanya, dan memintanya adzan, karena sudah masuk waktu shalat isya.

“Ibu setelah ini diapakan?” Najwa hampir menyelesaikan brosnya yang berwarna merah marun. Kami pun membantu mereka hingga masing-masing selesai membuat satu bros. “bu cantik kan?” tanya Rinda sambil mencoba bros warna pink dipasang di bajunya. Kiong juga sudah selesai walau hasilnya kurang rapi. Kami tersenyum bangga, telah mengajarkan 1 keterampilan, walaupun tidak tau, apakah ke depannya berguna bagi mereka.

Bros yang kami buat saat waktu luang

Bros yang kami buat saat waktu luang

Merekalah yang Akan Membawa Perubahan

Matahari pulang kearah barat dengan menunjukkan gradasi warna indah khas sore harinya, memberikan pertanda bagi setiap orang bahwa malam akan segera tiba, memberikan waktu istirahat setelah seharian tubuh bekerja keras di kebun. Mereka satu persatu berpamitan pulang, menyalami kami satu persatu. “Bu, ibu ke masjid kan?” Kiong bertanya sambil menyalami tanganku.  “Insha Allah”, jawabku. Masih memegang tangannya aku berkata lembut, “Kiong… nanti kalau ibu bertiga sudah pulang ke Pontianak, kamu harus tetap menggaungkan suara adzan di masjid dan di kampung ya, ajak semua teman-teman muslim untuk shalat dan mengaji di masjid”, pintaku penuh harap padanya. Ia pun mengangguk dengan penuh percaya diri, optimis bahwa dia bisa melakukannya, walau nanti kami tidak berada di kampung tersebut. “Jangan lupa adzan kiong” teriakku saat mereka sudah berlari beberapa meter dari rumah kami.

Foto bersama anak-anak TPA

Foto bersama anak-anak TPA

Semoga generasi yang saat ini kami didik bisa sebagai generasi terbaik yang pernah ada di kampung ini, 20 tahun kedepan merekalah yang akan membawa perubahan kampung ini menjadi lebih baik. Kami menaruh harapan besar pada kalian, termasuk kamu patriot kecilku, kiong. Bisikku dalam hati sambil berjalan masuk ke rumah untuk bersiap-siap mandi dan berangkat ke masjid. (*)
Profil Penulis
Nisa atau kerap dipanggil bu carik. Pemilik hobi membaca dan travelling ini lahir di Nusapati, 10 Mei 1991. Lulusan sarjana pendidikan di UNTAN, jurusan Pendidikan Kimia. Asalnya dari Desa Sungai Pinyuh, Mempawah, Kalimantan Barat. Nisa pernah menyabet prestasi sebagai Mapres Tingkat Kopertis se-Kalimantan. Wanita yang dulu ditugaskan mengajar dan mendidik di Flores Timur ini juga pernah menjadi Marketing Patria Education. Ia selalu berusaha agar keberadaannya bermanfaat bagi banyak orang.


Demikianlah Artikel Kisah Pengabdian Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Flores Timur

Sekian artikel tentang "Kisah Pengabdian Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Flores Timur". Mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk Anda semua. Baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Kisah Pengabdian Seorang Sarjana Pendidik di Pedalaman Flores Timur dengan alamat link https://sumberbacaanku.blogspot.com/2016/09/kisah-pengabdian-seorang-sarjana-pendidik-di-pedalaman-flores-timur.html

Tambahkan Komentar
EmoticonEmoticon