Pengalaman Mengharukan Guru SM-3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur

Pengalaman Mengharukan Guru SM-3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur - Hallo sahabat Sumber Bacaanku. Pada Artikel kali ini dengan judul "Pengalaman Mengharukan Guru SM-3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur". Silakan baca dan ambil informasi di dalamnya. Mudah-mudahan isi postingan Artikel Pendidikan, yang kami tulis ini dapat anda pahami dan bermanfaat.

Judul : Pengalaman Mengharukan Guru SM-3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur
link : Pengalaman Mengharukan Guru SM-3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur

Baca juga


Pengalaman Mengharukan Guru SM-3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur

Di Timur, Matahari Lebih Dulu Terbit

Oleh: Fitri Nurhayati

Pengalaman Mengharukan Guru SM-3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur

Anak nelayan yang kini menjadi muridku

FLORES sungguh indah. Semua pun sepakat. Satu lokasi yang tepat untuk menikmati keindahan itu ada di 17 Pulau, Riung, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Satu spot yang menjadi daya tarik Flores bagi siapa pun yang baru pertama kali berkunjung, seperti aku.

Satu pagi tepatnya dari ujung Dermaga Nangamese, nampak penguasa langit mulai meninggi di ufuk timur. Cahayanya kuning emas bersepuh ungu seperti campuran warna oranye dan merah di ruang yang tanpa batas. Pulau-pulau kecil yang masih keabu-abuan nampak berbaris rapi seperti menunggu sentuhan mentari secara perlahan. Ya, di timur Matahari lebih dulu terbit. Pagi selalu lebih dulu dimulai.

Saat itu desir ombak masih sangat tenang. Tak ada gelombang menciumi pantai. Berbeda dengan beberapa jam lalu, angin masih berhembus mengantarkan nelayan menepi usai melaut. Semua orang mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing. Begitu juga aku. Pagiku telah siap untuk memulai hari bersama anak-anak nelayan yang kini menjadi muridku.

"Selamat pagi, ibu," sapaan rutin yang selalu datang dari seorang bocah berusia empat tahun.

Setelah menyapaku biasanya ia segera berlari menuju rumah untuk kembali dengan kesibukannya sendiri, bermain mobil-mobilan. Melaporkan kepada mamanya kalau ia baru saja bertemu denganku di depan rumah. Setelah itu barulah sang mama keluar dengan membawa baskom berisi sebonggol ikan. Tiap bonggolnya berisi sepuluh ikan kecil yang dijualnya dengan harga sepuluh sampai lima belas ribu.

Pagi itu perjalanan menuju sekolah sengaja kuperlambat supaya berbarengan dengan muridku, Yein, Grace, Alfridus, dan Modo. Rumah mereka berdekatan satu sama lain. Biasanya kami selalu bertemu di persimpangan jalan, kemudian sama-sama menyeberang lapangan untuk menuju sekolah. Dari jauh sudah kulihat tangan kanan mereka menggenggam sapu lidi, sedang tangan kiri menenteng ember kosong. Buku pelajaran yang selalu kusut diangkutnya ke dalam tas.

Aku tak pernah melihat gurat lelah dari wajah siswa-siswaku ini. Apalagi beberapa bulan lagi mereka akan mengikuti ujian nasional (UN). Sudah banyak persiapan yang mereka lakukan meski hampir tiap hari, ketakutan menghadapi ujian sering disampaikan padaku. Dengan gaya sok bijak aku berusaha memotivasi mereka, padahal sebenarnya terlintas juga ketakutan yang sama dalam benakku.

Yayasan Perguruan Kejora Riung, SMA S Kejora Riung. Tulisan itu sudah nampak jelas tertangkap oleh mata. Menandakan kalau beberapa langkah lagi kakiku akan menapak di pintu gerbang sekolah. Dari jalan, bangunannya memang tak nampak lantaran tertutup oleh pohon jambu mete dan mangga yang berdaun lebat. Mungkin selebat semangat mereka yang bermekaran setiap pagi.

Tanpa instruksi semua siswa telah bergegas menjalankan tugas rutin mereka dengan senjata masing-masing. Ada yang bersenjata sapu lidi, sapu ijuk, parang, ember, bahkan ada yang tanpa senjata. Memungut sampah dari tempat-tempat yang sulit dijangkau. Seperti inilah kesibukan mereka setiap pagi sebelum duduk manis di kelas mendengarkan guru berceramah.

Arlojiku sudah menunjukkan pukul 07.00 WITA. Dalam waktu bersamaan berdentang lonceng sekolah. Suaranya merasuk ke telinga-telinga yang ada di seluruh penjuru sekolah. Belum sampai lima menit semua siswa sudah berbaris rapi di halaman. Debu-debu kering bertaburan setelah mereka injak dengan kejam. Seketika udara pagi menjadi kotor.

"Selamat pagi anak-anak," suara Pak Adrianus terdengar lantang meski ia tak menggunakan pengeras suara.

Semua mata tertuju pada sosok kepala sekolah yang sedang menyampaikan amanat pagi itu. Sudah menjadi kegiatan rutin dilaksanakan apel pagi yang dipimpin oleh siswa baik putra maupun putri. Saat itu pula dengan khusyuk semua yang hadir menyanyikan puji-pujian dan memanjat doa. Kami memang berbeda dalam hal keyakinan. meski begitu aku tetap merasa bangga berada di antara mereka. Toleransi sangat dijunjung tinggi di sekolah ini.

Tidak sampai lima belas menit apel pagi selesai. Semua siswa menyerbu kelas masing-masing dengan riang gembira. Kalau melihat air muka mereka yang bahagia seperti ini, rasanya tak ingin beranjak dari nuansa pagi yang bersahabat ini.

Kekhawatiran menunggu pengumuman hasil UN

Ketakutan Yein dkk akan ujian nasional berakhir sudah. Mereka telah melewati satu tahapan sukses dalam sejarah pendidikan yang cukup menegangkan. Betapa tidak, ujian nasional selama ini dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan pendidikan mereka. Meski sebenarnya bukan itu hakikatnya.

"Ibu guru, yang paling penting saya sudah ujian. Saya ingin sekali lulus, sudah pusing pikir pelajaran,” kata Yein.

Hari-hari di sekolah selanjutnya tak lebih dari sekadar kegiatan belajar-mengajar. Siswa kelas tiga sudah jarang datang ke sekolah usai merampungkan ujian. Sungguh hari-hari di sekolah menjadi semacam proyek tanpa akhir yang perlahan membosankan. Perasaanku menjadi tak keruan karena Sebentar lagi akan diumumkan hasil ujian. Kuingat adri persiapan awal pretest, beberapa kali try out, latihan berlembar-lembar soal tapi hasilnya masih sama. Nilai mereka masih jeblok, tidak menunjukkan progres. Kepala sekolah mengatakan, pihaknya telah berusaha maksimal untuk meraih kesuksesan dalam UN 2014.

Namun semua ketakutanku terbayar setelah mendengar kabar yang melintas dari kota, semua siswaku lulus tanpa ada yang tertinggal satu pun. Pak Adrianus bilang, sekolah kami masih sama dengan tahun lalu. Kali ini malah seorang siswa berhasil meraih nilai tertinggi tingkat kabupaten. Namanya Firman A. Laba, pelajaran sastranya dapat nilai 9,25. Bukankah itu amat membahagiakan? Belum lagi Anastasia Kio yang Bahasa Indonesia-nya dapat nilai 8,60, sedang Persia,  Sosiologi-nya 7,40. Aku buktikan, ketakutan selama ini ternyata dapat dilawan dengan perjuangan yang penuh kesabaran.

Harapan melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi

Siswaku merasa puas dengan hasil ujian yang telah didapat kemarin. Meski beberapa anak mendapat nilai yang pas-pasan tapi setidaknya tetap menjadi kebanggaan. Beberapa anak mencoba peruntungan dengan mendaftar kuliah di perguruan tinggi. Sebelum pengumuman kemarin, aku sudah lebih dulu mendaftarkan sebelas anak untuk mengikuti SNMPTN. Tapi dari sebelas itu pula hasilnya nihil. Ada gurat kecewa dalam benakku.

Tak apa, kesempatan kedua masih berpihak pada murid-muridku. Kali ini ada tahapan Seleksi masuk perguruan tinggi melalui tes tertulis. Pendaftararanya dilakukan secara online. Tahap seleksinya mereka harus datang langsung ke kampus yang dipilih. Kali ini aku mendaftarkan enam siswa, tadinya sepuluh tapi mogok di tengah jalan. Kebanyakan lebih memilih bekerja atau mencari kayu bakar di hutan.

"Ibu... saya tidak jadi daftar. Nenek bilang tidak usah kuliah jauh-jauh cukup di Bajawa saja," kata Rindong, seorang muridku. Bajawa merupakan pusat kota Kabupaten Ngada  yang menjadi satu-satunya tempat paling ramai di sini.

Awalnya Rindong ingin kuliah di Yogya. Ia bilang di Yogya ada saudara yang siap menampungnya selama kuliah. Tapi neneknya tak memberi izin. Sejak kecil Rindong hanya tinggal berdua dengan sang nenek sehingga untuk melepasnya sampai ke tanah Jawa mungkin agak sulit. Mamanya sudah menikah lagi dan tinggal dengan suami baru, sedang bapak kandungnya sudah tidak pernah menemuinya lagi. Cita-cita Rindong menjadi penyanyi mungkin akan menemui jalan lain dengan cara yang berbeda. Gadis berambut panjang ini punya hobi menyanyi dan menari. Setiap ada acara di desa pasti ia tampil paling depan.

Lain cerita dengan Alfridus Kara. Anak IPA ini ingin sekali kuliah tapi terhambat masalah biaya. Masalah klasik yang dialami hampir semua orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya. Kata Rindong, di kampung Alfridus tak ada listrik, susah air, dan tak ada sinyal. Kalau pun ada sinyal hanya di titik tertentu. Pantas saja aku telepon hasilnya nihil. Kuputuskan untuk mengirim pesan singkat, siapa tahu tiba-tiba ada sinyal lewat membawa pesanku padanya.

Sehari kemudian baru aku dapat kabar dari Alfridus, katanya ia ingin kuliah. Anak pertama dari empat bersaudara ini termasuk anak cerdas, kemarin ia juga direkomendasikan sekolah untuk ikut SNMPTN dan beasiswa bidikmisi.

"Iya ibu saya ingin ambil Kimia atau Matematika," kata  Alfridus.

Aku memintanya untuk datang ke sekolah besok siang sekaligus membawa persyaratan yang dibutuhkan. Banyak borang yang harus diisi sebagai persyaratan. Tentang data Alfridus dan keluarganya tentu aku tak tahu banyak.

"Iya ibu besok siang saya datang ke sekolah," balasnya. Beberapa dari siswaku juga sekaligus direkomendasikan untuk mendapat beasiswa termasuk Fersia, Alfridus, dan Modo. Aku menunggu Alfridus di sekolah ditemani Fersia, Modo, dan Yein. Sementara menunggu, gangguan datang dari sinyal operator yang tiba-tiba menghilang.

"Ini memang sedang gangguan dari kemarin ibu. Kemarin muncul sebentar terus hilang lagi. Sekarang malah hilang sama sekali," kata Yein yang masih belum kudaftarkan.

Siang sampai sekolah bubar, tak muncul juga batang hidung Alfridus. Katanya mau datang siang ini, tapi kalau pun ia datang tetap saja tak bisa mendaftar karena gangguan sinyal.

"Biar nanti dia datang ke rumah saja ibu," kata Yein. Aku mengiyakan sarannya. Kata Yein, rumah Alfridus memang jauh, oto hanya ada pagi hari saja. Kalau sudah ketinggalan oto maka tertinggal juga semuanya. Belum lagi jalannya yang rusak parah dan jauh. Bisa seharian di perjalanan. Akhirnya aku memutuskan pulang ke rumah, begitu juga dengan Yein. Katanya ia akan datang ke rumah nanti sore sembari menunggu sinyal telekomunikasi stabil lagi. Sinyal, bersahabatlah denganku kali ini saja siswaku sedang membutuhkanmu. Tinggal dua hari waktu pendaftaran, belum lagi mereka yang harus membayar biaya pendaftaran secara online di pusat kota.

Perjuangan menuju sepercik harapan

Pukul empat sore Yein datang ke rumah. Ia tak sendiri, kali ini sudah bersama Alfridus. Keduanya datang dengan membawa persyaratan yang harus dilengkapi. Beruntung, meski sangat pelan tapi jaringan internet kali ini mau berteman. Aku mulai mengisi borang untuk Alfridus. Ada banyak lembar yang harus dipenuhi sampai aku mendapati borang yang meminta penjelasan tentang kondisi orangtuanya. Alfridus menceritakan padaku kalau mamanya selama ini sakit. Kulitnya menguning kalau sedang kumat.

Sulung empat bersaudara ini tergolong anak yang patuh dan rajin. Aku berharap kelak ia yang akan menggantikan posisi bapaknya mengangkat derajat keluarga. Setelah mengisi borang, aku jadi tahu banyak hal tentang Alfridus. Ia layak untuk diperjuangkan. Muridku ini juga direkomendasikan untuk mendapat beasiswa kuliah, semoga ia lolos seleksi.

"Sebentar ya saya print dulu kartu ujiannya. Ini sudah jadi tidak perlu bayar biaya pendaftaran karena kamu didaftarkan beasiswa Bidikmisi," kataku.

"Iya bu," jawabnya sangat menurut. Aku sekaligus memberikan latihan soal yang dapat ia pelajari sebelum mengikuti tes. Nampak dari wajah Alfridus sepercik harapan yang ia gantungkan entah pada siapa. Sedang harapanku menggantung padanya.

Berawal darimu, sukses akan lebih dulu diraih

Guru SM3T Fitri Nurhayati Bersama Muridnya Yein

Dua minggu kemudian mereka harus sudah ada di Kupang untuk mengikuti seleksi tertulis. Bertolak dari Pelabuhan Aimere menggunakan kapal feri menuju Pulau Timor, Kupang lebih tepatnya. Aku sangat menggantungkan harapan pada mereka, setidaknya satu dari mereka semoga ada yang lolos.

"Doakan kami ibu biar bisa kerja soal," pesan singkat itu serentak membanjiri ponselku secara bersamaan.

Sebulan berlalu begitu saja. Sampailah waktunya untuk melihat pengumuman hasil tes mereka. Pagi hari mama Yein menghadangku di lapangan menuju sekolah. Dari jauh ia berteriak memanggil.

"Ibu guru bagaimana hasil tes punya anak saya?" kata dia dengan suara keras khas orang Flores.

"Pengumumannya nanti sore Mama. Biar nanti saya kabari anak-anak," jawabku dengan teriakan dari jauh.

Lagi-lagi jaringan internet yang manja menjadi hambatan bagiku untuk melihat pengumuman. Sudah kucoba berulang-ulang tapi hasilnya masih nihil, jaringan error.

"Bagaimana ibu ini sudah lewat jam lima," begitu pesan singkat di ponsel.

Aku membuka satu per satu akun siswaku. Mulai dari Alfridus, Fersia, Modo, dan semua yang kudaftarkan. Hasilnya mereka belum beruntung, tidak lolos seleksi. Aku menyerah untuk satu nama terakhir, akhirnya kuputuskan antuk meninggalkan laptop. Rasa penyesalan tiba-tiba datang, otakku menjadi panas dan lebih dulu aku mendinginkannya dengan doa. Kebetulan waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadan, jadi kuputuskan untuk salat tarawih terlebih dahulu.

Ponsel berdering lagi. Kali ini bukan SMS, tapi panggilan telepon dari Yein. Aku tak mengangkatnya karena hanya pengumuman miliknya yang belum kubuka. Pasti mamanya sudah banyak berharap sedari tadi. Pikiranku sudah mulai tenang dan siap membuka akun yang terakhir, milik Yein. Mengejutkan dan ini yang diharapkan. Ia lolos seleksi dan diterima kuliah di Kupang, jurusan olahraga. Menjadi guru olahraga adalah cita-cita keduanya setelah mengurungkan niat menjadi Polwan. Ia takut dengan seleksi masuk Polwan, jadi dipilihlah jurusan olahraga.

Mimpi indah seperti baru saja menyenggolnya dan tentu saja menyenggolku. Aku segera membalas pesannya yang sedari tadi kubiarkan. Mamanya langsung meneleponku memastikan kebenaran kabar ini. Melalui telepon, aku seperti mendengar teriakan kencang dari banyak orang yang sedang berkumpul. Mungkin keluarga Yein sedang berteriak kegirangan. Selamat Yein, kau akan jadi mahasiswa. Cita-cita jadi guru olahraga sudah ada di depan mata. Berawal darimu, sukses akan lebih dulu diraih. (*)
Profil Penulis
Akrab disapa Pipit. Wanita yang gemar menulis ini menyelesaikan gelar sarjananya di Universitas Muhammadiyah Purwokerto jurusan Geografi. Merasa terpanggil untuk berbagi ilmu dengan tunas-tunas bangsa di pelosok negeri, ia rela melepas profesinya sebagai wartawan lokal di sebuah media cetak. Wanita asal Banjarnegara ini lahir pada 1 Mei 1991. Setahun ia bertugas menjadi pendidik (guru SM3T) di kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.


Demikianlah Artikel Pengalaman Mengharukan Guru SM-3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur

Sekian artikel tentang "Pengalaman Mengharukan Guru SM-3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur". Mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk Anda semua. Baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Pengalaman Mengharukan Guru SM-3T di Pedalaman Nusa Tenggara Timur dengan alamat link https://sumberbacaanku.blogspot.com/2016/09/pengalaman-mengharukan-guru-sm-3t-di-pedalaman-nusa-tenggara-timur.html

2 komentar

Pengalaman yang seru, luar biasa

Iya, terima kasih. Semoga bermanfaat :)

Tambahkan Komentar
EmoticonEmoticon